lebaran tinggal satu hari lagi cerpen by gus mus
Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji akan pulang sebelum
lebaran. Kini lebaran sudah tinggal satu hari dan belum ada kabar berita dari
suaminya itu. Hatinya jadi gelisah. Sebetulnya suaminya pergi seminggu-dua
minggu sudah biasa. Selama ini dia sama sekali tidak pernah merasa gelisah.
Tapi ini menjelang lebaran. Selama ini mereka selalu berlebaran bersama.
Mungkin juga berita-berita yang selalu didengarnya, turut mempengaruhi
batinnya.
Setelah ledakan bom di Bali, tampaknya semua orang bisa saja diciduk aparat.
Setiap rumah bisa digeledah polisi. Seperti beberapa orang yang dicurigai
polisi itu, dia juga tidak begitu mengetahui kegiatan suaminya di luaran.
Selama ini, sebagai orang yang berasal dari desa yang dikawin orang kota, dia
merasa tidak pantas bila bertanya macam-macam urusan lelaki. Jika suaminya
bilang bisnis, itu sudah cukup baginya; dia tidak pernah kepingin tahu bisnis
apa. Tapi sekarang, dia mulai was-was. Jangan-jangan apa yang dibilang suaminya
bisnis itu merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang saat ini
dicurigai polisi itu. Ah, tapi tidak. Suaminya orangnya lembut dan tidak
neko-neko. Tidak mungkin. Tapi kebanyakan yang ditangkap polisi itu sepertinya
juga tidak tampak sangar dan neko-neko. Ah.
Sehabis menidurkan anak semata wayangnya, Siti sembahyang Isya’. Tidak
seperti biasanya, kali ini doanya panjang sekali. Semua doa yang dihafalnya
dibaca semua, bahkan ditambah doa dengan bahasa ibunya. Dia pernah mendengar dari
seorang kiai, doa menggunakan bahasa ibu, terasa jauh lebih khusyuk. Ternyata
benar. Air matanya sampai berlelehan saat dia meminta keselamatan suaminya.
Dia teringat semua kebaikan suaminya yang selama ini tidak begitu ia
perhatikan. Bicaranya yang selalu lembut kepadanya. Jika pulang dari bepergian,
jauh atau dekat, selalu tidak lupa membawa oleh-oleh untuk dirinya dan anak
mereka. Bila memberi uang, suaminya tidak pakai hitungan. Seringkali, belum
sempat dia meminta, suaminya seperti sudah tahu dan langsung memberikan uang
yang ia perlukan. Tidak jarang suaminya, jika sedang di rumah, ikut
membantunya; tidak hanya momong anak, tapi juga mencuci dan di dapur.
Siti tersenyum sendiri, teringat ketika suaminya berlelelahan air matanya
saat membantunya merajang bawang merah. “Ya Allah, lindungilah suamiku!
Jauhkanlah dia dari segala mara bahaya!”
Ketika kemudian Siti merebahkan badannya di sisi anaknya yang pulas, dia
masih terus berzikir. Tiba-tiba terdengar suara orang menggedor-gedor pintunya.
Buru-buru Siti meloncat turun. Sejenak dia merasa lega. Ini pasti suaminya.
Alhamdulillah. Namun betapa kagetnya ketika baru saja dia membuka pintu,
beberapa orang berhamburan masuk. Semuanya berwajah waspada atau lebih tepatnya
angker.
“Kami petugas,” kata salah seorang di antara mereka, “Kami mendapat perintah
mencari suami Anda. Anda istri Mat Soleh?”
Siti hanya mengangguk asal mengangguk. Pikirannya tak karuan. Ketika
dilihatnya orang-orang itu menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir
oleh Siti hanyalah anaknya yang sedang tidur. “Tolong jangan terlalu berisik!”
pintanya, “anak saya baru saja tidur.”
Tapi tak ada gunanya. Dari biliknya, Intan, anaknya yang baru berumur lima
tahun itu sudah keluar sambil menangis, memanggil-manggilnya. Siti segera
menghambur memeluk buah hatinya itu sambil berusaha menenangkannya. “Bu, takut!
Siapa mereka ini, Bu?” tanya si anak masih sesenggukan.
“Syhh, syhh, tidak ada apa-apa, sayang. Bapak-bapak ini petugas yang sedang
mencari sesuatu.” Siti asal menjawab. “Bapal-bapak inilah yang sering ibu
ceritakan sebagai pelindung-pelindung kita.”
Orang-orang itu mengobrak-abrik seisi rumah. Tak ada satu benda pun yang
selamat dari pemeriksaan mereka. Bahkan grobok tempat makanan pun mereka
udal-udal, entah mencari apa? Salah seorang di antaranya mencecar Siti dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang suaminya. Kapan kenal, kapan kawin, bagaimana
kelakuannya selama ini; dan kapan terakhir bersama suaminya. Semua pertanyaan
dijawab Siti apa adanya. Setelah puas dan tidak mendapatkan apa yang mereka
cari, seorang di antara mereka pun memberi isyarat pergi. Namun sebelumnya dia
masih sempat mengatakan kepada Siti bahwa mereka akan datang lagi.
Begitu mereka keluar, Siti buru-buru menutup pintunya sambil berdoa semoga
mereka tidak berubah pikiran dan balik lagi. Dia kembali menidurkan anaknya dan
berbaring di sampingnya dengan pikiran yang kalut. Ternyata apa yang
dikhawatirkan benar-benar terjadi. Suaminya dicari polisi. Bagaimana mungkin.
Seingatnya, suaminya tidak pernah bohong dan menyembunyikan sesuatu kepadanya.
Kalau benar dugaan polisi, pastilah Mat Soleh, suaminya itu, aktor yang luar
biasa. Atau dia yang terlalu lugu sebagai istri, sehingga suaminya merahasiakan
sesuatu selama ini tanpa sedikit pun dia mengetahuinya. Jadi selama ini suaminya
pergi tidak untuk bisnis seperti yang dikesankan kepadanya. Ah, terlalu kau,
Kang. Tega benar kau mendustaiku.
Besok paginya, koran-koran memuat berita tentang temuan baru polisi dengan
huruf besar di halaman depan. “Polisi Menemukan Tokoh Intelektual Pengeboman
Bali”; “Diduga Otak Pengeboman Bali Berinitial MS”; “Polisi Sedang Mencari Mat
Soleh, Otak Pengeboman di Bali”. Semua menceritakan pernyataan dari Tim
Investigasi yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikan terhadap para
tersangka, telah ditemukan tokoh intelektual pengeboman di Bali yang selama ini
dicari-cari. Diceritakan juga bahwa polisi sudah melakukan penggerebekan di
rumah tersangka, namun tidak menemukan tersangka yang dicari. Juga dilaporkan
bahwa rumah tersangka juga telah digeledah, namun polisi tidak menemukan
apa-apa.
Siti tidak bisa membendung tangisnya. Sambil mengelus-elus anaknya, dia
terus mengucap doa, “Ya Tuhan, selamatkan suamiku! Selamatkan suamiku!”
Tiba-tiba dirasanya ada seseorang yang memeluknya dari belakang.
“Hei, ada apa ini?” Terdengar suara lirih, “Ada apa dengan suamimu? Ini
suamimu telah datang, sayang. Kenapa pintu tidak dikunci? Sengaja menungguku,
ya? Lihat. Seperti janjiku, aku datang sebelum lebaran.”
Siti kaget. Dibalikkan tubuhnya dan masya Allah, dilihatnya suaminya
tersenyum dengan lembut. Dipagutnya suaminya dan diciuminya kedua pipinya
habis-habisan. Meski bingung, suaminya hanya tertawa-tawa saja melihat kelakuan
istrinya yang tidak seperti biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau mungkin
karena merasa bahagia karena dia menepati janji dan mereka bisa berlebaran
bersama.
Setelah melepaskan suaminya, Siti tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika
suaminya bertanya ada apa, Siti tidak menjawab. Hanya terus tersenyum-senyum
sendiri. Juga ketika suaminya keluar akan ke kamar mandi, Siti masih
tersenyum-senyum sendiri; kali ini sambil mendesiskan syukur, Allahu Akbar,
Allahu Akbar, Walillahil Hamdu! (*)
Rembang, akhir Ramadan 1423 H