cerpen gus mus kang kasanun
Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari
ayah atau kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam mengaguminya.
Bahkan seringkali aku membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si
Pesulap Mandrake. Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat
satu ilmu saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya
dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi karena
faktor keseniorannya atau karena ilmunya.
Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan ayah di pesantren,
paling semangat bila bercerita tentang Kang Kasanun. Aku dan kawan-kawanku
paling senang mendengarkannya; apalagi Kiai Mabrur bila bercerita tentang tokoh
yang dikaguminya itu acapkali sambil memperagakannya. Misalnya ketika bercerita
bagaimana Kang Kasanun dikeroyok para begal, Kiai Mabrur memperagakan dengan
memperlihatkan jurus-jurus silat. “Kang Kasanun itu pendekar yang ilmu silatnya
komplit,” katanya terengah-engah.
“Yang saya peragakan itu tadi jurus silat Cibadak. Jurus yang digunakan Kang
Kasanun membekuk tujuh begal yang mencegatnya di perjalanan. Tujuh orang dan
Kang Kasanun sendirian. Bayangkan! Kami sendiri, saya dan beberapa kawan yang
berminat, setiap malam Jumat dia ajari jurus-jurus silat dari berbagai cabang.
Tapi mana mungkin bisa seperti dia? Dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila
sedang bersilat, bisa nempel dan merayap di dinding.”
Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun, tapi tidak dengan
memperagakannya seperti Kiai Mabrur. “Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana?”
kata ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawannya yang disebutnya
jadug itu. “Di samping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya
dengan merapalkan bacaan aneh –campuran bahasa Arab dan Jawa– dia bisa membuat
tidur seiisi mushalla. Pernah dia menjadi tontonan orang sepasar gara-gara dia
dihina penjual lombok lalu lombok satu pikul dimakannya habis. Dia tidak
apa-apa, tapi penjualnya kemudian yang murus. Kata kawan-kawan dia juga bisa
memanggil burung yang sedang terbang di udara dan ikan di dalam sungai.”
“Kata Kiai Mabrur, Pak Kasanun juga bisa menghilang, betul Yah?” tanya saya.
Ayah tersenyum dan pandangannya seperti menerawang ke masa lalunya. “Pernah
beberapa kawan diajarinya ilmu halimunan entah apa. Pokoknya ilmu untuk
menghilang. Mereka disuruh puasa tujuh hari mutih, artinya bukanya hanya dengan
nasi tanpa lauk apa-apa. Lalu ada satu malam ngebleng, semuanya tidak boleh
tidur sama sekali. Ayah juga ikut.”
Ayah berhenti sejenak, tersenyum-senyum sendiri, mungkin terbawa kenangan
masa lalunya, baru kemudian melanjutkan ceritanya. “Dari sekian orang yang ikut
program halimunan itu, hanya ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal, ketika
ilmu itu dipraktikkan. Hari itu, kami beramai-ramai, di bawah pimpinan Kang
Kasanun sendiri, datang ke toko Cina yang terkenal paling galak di kota. Kang
Kasanun berpesan siapa pun di antara kami yang nanti di toko masih melihat
orang lengkap dengan kepalanya, jangan sekali-kali mengambil sesuatu. Karena
tandanya kalau kami sudah benar-benar hilang, tidak terlihat orang, yaitu
apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang Kasanun, kita
bukan niat mencuri tapi mengamalkan ilmu. Jadi ambil barang seadanya dan yang
murah-murah saja.”
Ayah berhenti lagi, tersenyum-senyum lagi, baru sejurus kemudian
melanjutkan. “Wah, saya lihat waktu itu kawan-kawan ada yang mengambil sabun,
ada yang mengambil potlot, sisir, minyak rambut, dan lain-lain. Mabrur, guru
Quranmu itu, malah sengaja mengambil manisan yang terletak persis di depan Cina
pemilik toko yang galak itu. Anehnya, baik si pemilik toko maupun
pelayan-pelayannya, seperti tidak melihat apa-apa. Setelah mengambil
barang-barang itu, kawan-kawan ngeloyor begitu saja dan tak ada yang menegur.
Saya yang malah ditanya Kang Kasanun, kenapa saya tidak mengambil apa-apa? Saya
menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang yang ada di toko. Jadi,
sesuai pesan Kang Kasanun sendiri, saya tidak berani mengambil apa-apa.
’Sampeyan kurang mantap sih!’ komentar Kang Kasanun. Memang terus terang, waktu
itu –sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu– saya tidak percaya ada
ilmu halimunan, ada orang bisa menghilang.”
“Ada tamu ya, Bu?!” tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membenahi kamar
tamu.
“Ya,” jawab ibu tanpa menoleh, “Kawan lama ayahmu di pesantren. Beliau akan
menginap beberapa malam. Mungkin mau kangen-kangenan sama ayahmu. Dengar itu,
tawa mereka.”
“Ya, asyik benar tampaknya,” timpalku. “Tamu dari mana sih, Bu?”
“Kata ayahmu tinggalnya sekarang di luar Jawa. Namanya Kasanun atau siapa?!”
“Kasanun?” tanya aku setengah berteriak.
“Ee, jangan berteriak!” bisik ibu. Tapi aku sudah bergegas meninggalkannya.
Dari gorden jendela aku mengintip ke ruang tamu. Sekejab aku jadi ragu-ragu.
Tamu ayah tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak gagah, malah terlihat kecil
sekali di depan ayahku yang bertubuh besar. Kurus lagi. Ah, jangan-jangan ini
bukan Kasanun sang pendekar yang sering diceritakan Kiai Mabrur. Masak
kerempeng begitu. Tapi setelah nguping, mendengar pembicaraan ayah dan tamunya
itu sebentar, aku menjadi yakin memang itulah sang Superman, Kang Kasanun.
Apalagi tak lama kemudian Kiai Mabrur datang dan saling berpelukan dengan si
tamu. Nanti malam, aku harus menemuinya, kataku mantap dalam hati. Aku harus
mendapatkan salah satu ilmu hikmahnya.
Kebetulan sekali, malam ketika ayah akan mengajar ngaji, aku dipanggil dan
katanya, “Kenalkan, ini kawan ayah di pesantren, Kang Kasanun yang sering ayah
ceritakan! Kawani dulu beliau sementara ayah mengaji.”
Begitu ayah pergi, aku segera menjabat tangan orang yang selama ini aku
idolakan. Beliau menerima tanganku dengan menunduk-nunduk penuh tawadluk.
“Gus, putra ke berapa?” tanyanya dengan suara lembut.
“Nomor dua, Kiai!” jawabku sambil terus mengawasinya.
“Jangan panggil saya kiai!” katanya bersungguh-sungguh. “Saya bukan kiai.
Saya memang pernah mondok di pesantren bersama ayahanda Gus, tapi tidak seperti
ayahanda Gus yang tekun belajar. Saya di pesantren hanya main-main saja.”
Aku tidak begitu menghiraukan apa yang beliau katakan, aku sudah punya
rencana sendiri dari tadi. Mengapa harus ditunda, inilah saatnya, mumpung hanya
berdua. Kapan lagi?
“Bapak Kasanun,” kata saya sengaja mengganti sebutan kiai dengan bapak,
“sebenarnya saya sudah lama mendengar tentang Bapak, baik dari ayah maupun yang
lain. Sekarang mumpung bertemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberi ijazah
kepada saya barang satu atau dua dari ilmu hikmah Bapak.”
Mendengar permohonan saya, tiba-tiba tamu yang sejak lama aku harapkan itu
menangis. Benar-benar menangis sambil kedua tangannya menggapai-gapai.
“Jangan, jangan, Gus! Gus jangan terperdaya oleh cerita-cerita orang tentang
bapak. Apalagi kepingin yang macam-macam seperti yang pernah bapak lakukan.
Biarlah yang menyesal bapak sendiri. Jadilah seperti ayahanda saja. Belajar.
Ngaji yang giat. Dulu ayahanda Gus pernah sekali ikut dengan kegilaan masa muda
bapak, tapi gagal. Mengapa? Bapak rasa karena ayahanda memang tidak serius.
Beliau hanya serius dalam urusan belajar dan mengaji. Dan sekarang, lihatlah
bapak dan lihatlah ayahanda Gus! Ayahanda Gus menjadi kiai besar, sementara
bapak lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak yang dulu ikutan bapak
mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini rata-rata kini hanya jadi dukun. Ini
masih mendingan, ada yang malah menggunakan ilmu itu untuk menipu masyarakat
dengan mengaku-aku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam yang tidak tahu,
mana bisa membedakan antara karomah dan ilmu sulapan seperti itu?”
Aku tidak bisa ceritakan perasaanku melihat orang yang selama ini kukagumi
menangis. Masih terdengar sesekali isaknya ketika beliau melanjutkan. “Ayahanda
dan Kiai Mabrur pasti tak pernah cerita bahwa bapak ini pernah dinasihati
seorang singkek tua. Karena memang bapak tak pernah menceritakannya kepada
siapa pun. Sekarang ini bapak ingin menceritakannya kepada Gus. Mau
mendengarkan?”
Saya hanya bisa mengangguk.
“Pernah dalam suatu perjalanan bapak, bapak kehabisan sangu. Bapak pun
mampir ke sebuah toko milik seorang singkek yang sudah tua sekali. Begitu masuk
toko, bapak rapalkan aji halimunan bapak. Semua pelayan dan pelanggan yang ada
tak ada yang bisa melihat bapak. Bapak langsung menuju ke meja si singkek tua
yang terlihat terkantuk-kantuk di kursi tingginya. Pelan-pelan aku buka laci
mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak ambil semau bapak. Si singkek tua
tidak bergerak. Namun begitu tangan bapak akan bapak tarik dari laci, tiba-tiba
tangan keriput si singkek tua memegangnya dan langsung seluruh tubuh bapak
lemas tak berdaya.
’Ilmu begini, kok kamu pamel-pamelkan,’ katanya hampir tanpa membuka mulut.
“Ini nyang kamu peloleh sekian lamanya belajal, he?! Kasihan kamu olang! Ilmu
mainan anak-anak begini untuk apa? Paling-paling buat gagah-gahahan ha. Siapa
yang nganggep kamu gagah? Anak-anak kecil sama olang-olang bodoh dan
olang-olang jahat saja ha! Ada olang pintel kagum sama kamu olang? Ada? Siapa?
Olang hidup apa nyang dicali? Olang hidup cali baik buat dili sendili, kalau
bisa buat olang lain. Cali senang sendili, jangan bikin susah olang lain ha!’
Pendek kata, habis bapak dinasehati. Setelah itu bapak dikasih uang dan
disuruh pergi. Sejak itulah bapak tidak pernah lagi mengamalkan ilmu-ilmu gila bapak.
Nasihat yang bapak dapat dari singkek tua itu sebenarnya hanyalah memantapkan
apa yang lama bapak renungkan tentang kehidupan bapak, tapi bapak selalu ragu.”
Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang. Katanya kemudian, “Kini
bapak sudah mantap. Jalan yang bapak tempuh kemarin salah. Mestinya sejak awal
bapak mengikuti jejak ayahanda Gus. Karena itu, Gus, sekali lagi, ikutilah
jejak ayahanda dan jangan mengikuti jejak bapak ini. Carilah ilmu yang
bermanfaat bagi diri Gus dan bagi sesama!”
Aku tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu datang Kiai Mabrur
dan beberapa tamu kawan lamanya yang lain. Tapi aku masih mempunyai banyak
waktu untuk merenungkan nasihatnya. (*)
Rembang, 29 September 2002